Perjalanan hidup manusia memang serba tak terduga. Siapa yang bisa menyangka, Mardin, kawan yang terkenal royal pada masa kuliah tiga tahun yang lalu, kini setelah tiga tahun menikah dan sudah punya dua orang anak, jangankan untuk mentraktirku menonton film di bioskop seperti yang selalu ia lakukan seusai menerima gajinya di setiap awal bulan, untuk membeli sebatang rokok pun kini ia harus pikir-pikir. Pakaiannya pun kelihatannya sudah lusuh dan mungkin tidak pernah diganti dengan yang baru. Sinar matanya redup menandakan kelelahan yang sangat dalam pergulatan hidup yang keras. Ada apa dengan kawan ini? Itulah pertanyaan dalam batinku, ketika aku bertemu dengannya di rumah kontrakanku setelah dua tahun lamanya aku tak berjumpa dengannya.
Sore itu seusai shalat ashar, aku mengetik skripsiku yang hampir rampung di ruang tamu kontrakanku. Lapat-lapat kudengar suara dua orang laki-laki yang rasanya pernah aku kenal dekat. Radius suara itu makin dekat saja ke tempatku. Pintu masih tertutup. Beberapa saat kemudian, ada yang mengetuk pintu dan berucap: “Assalamu’alaikum.” Aku beranjak dari depan komputer, sambil berjalan, “Wa’alaikumussalam”, dan kubuka pintu. Betullah ternyata dugaanku. Dua laki-laki muda berdiri di depan pintu: Rizal dan Mardin. Rizal tidaklah mengejutkan bagiku. Setiap minggu aku biasa berkunjung ke tempat kostnya. Seperti aku, dia pun masih kuliah dan belum memutuskan untuk cepat-cepat berkeluarga. Tapi Mardin, mengapa dia datang dengan wajah buram seperti ini?
“Masuk, masuk. Lama tak berjumpa, nih. Bagaimana kabar?” kataku.
“Beginilah. Sudah lama tinggal di sini?” balasnya.
“Sudah. Sudah hampir setahun. Bagaimana kabar isterimu, anak-anakmu?”
“Baik. Sehat,” jawabnya singkat.
Setelah puas mengobrol dan bernostalgia hingga menjelang maghrib, aku persilahkan mereka untuk mandi. Setelah itu kami berjamaah di Mesjid yang dekat dari kontrakanku.
Usai shalat maghrib, Rizal minta izin untuk pulang. Ternyata Mardin turut meminta izin pulang juga. Kusarankan kepada mereka, menginap saja di kontrakanku. Jika pun tidak, paling tidak Mardin sendiri, sebab sudah lama tidak berjumpa. Apa salahnya dia bermalam di sini hanya untuk semalam, begitu jalan pikaranku berkata. Tiba-tiba Mardin memintaku berbicara dengannya di sudut Masjid. Ada apakah?
“Dai, sebenarnya aku ada perlu denganmu,” katanya agak-agak segan, “Bisa kau bantu aku? Aku butuh uang untuk membayar kontrakkan tempat tinggal kami. Yang punya kontrakan sudah mencoba-coba meneror isteriku, jika tak dibayar pekan ini, ia memastikan akan mengusir paksa kami. Aku kasihan kepada situasi psikologis isteriku. Dia sangat tertekan sekali.”
Aku terperanjat dengan perkataannya ini. Sungguh tak kuduga orang yang dulu berpantang meminta tolong kepada orang lain itu, kini seakan bersimpuh di hadapanku mengharap moga-moga aku memberikan jalan keluar baginya. Aku belum percaya dengan perkataannya itu. Mana bisa aku percaya ada perubahan sikap setajam ini padanya. Kawan yang dulu kukenal ini adalah orang yang tegar dan pantang membikin tangan di bawah. Egonya merasa terhina jika sempat ia melakukan itu. Pernah suatu ketika dia kekurangan uang untuk membayar rekening listriknya. Tak sedikit pun ia mencoba meminjam uang kepadaku, kendatipun ia tahu aku punya uang untuk itu. Sebagai kawan yang juga tempat kostnya berdekatan, apa salahnya ia melakukan itu. Saat itu aku pun tak berinisiatif menawarkan bantuan kepadanya, karena kutahu ia tak akan menerima tawaranku. Bisa-bisa ia menafsirkan dirinya sebagai beban orang lain saja. Kalau sudah seperti itu, harga dirinya akan terusik. Dengan cekatan ia dapatkan uangnya dari menarik angkot yang ia pinjam sehari dari teman sekampungnya. Tapi mengapa tiba-tiba sekarang ia berubah? Inilah yang tidak kumengerti itu.
“Berapa perlunya, Din?” tanyaku. Aku sengaja tak mencoba menanyakan ketidakmengertianku kepada sikapnya yang berubah itu. Kupikir-pikir, apa gunanya aku menanyakan hal itu kepadanya. Bisa-bisa ia menjadi malu dan mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan kepadaku.
“Aku butuh lima puluh ribu rupiah lagi. Dua ratus ribu sudah ada,” katanya.
Aku terdiam sejenak. Mengapa cuma perlu lima puluh ribu rupiah, jauh-jauh datang kemari? Tidak bisakah kawan ini mencarinya di tempat lain seperti yang ia lakukan waktu dulu? Sebelum aku mengiyakannya, ia melanjutkan bicaranya:
“Sudah sebulan ini aku tak punya kerjaan. Kios buku yang kami buka di pasar Jatinegara itu, sudah hancur. Tak ada lagi yang tersisa di sana. Entah siapa yang membakarnya. Padahal sumber hidup keluargaku seratus persen berasal dari sana,” katanya dengan pilu, “Aku terpukul sekali dengan musibah ini. Sungguh tak pernah kubayangkan, akan terjadi seperti ini. Aku belum melunasi semua utang-utangku ke distributor. Kini tanpa berperasaan mereka menagih semua utang-utang itu. Aku sudah coba jelaskan duduk persoalannya kepada mereka. Tapi mereka tidak mau tahu dengan keadaan itu. Akhirnya terpaksa aku melelang motor dan beberapa perhiasan isteriku. Tak ada lagi yang tersisa sekarang selain mungkin beberapa peralatan masak.”
Tanpa berpikir panjang kuberikan keperluannya itu, meskipun uang di dompetku menjadi tersisa dua puluh ribu rupiah. Spontan aku melupakan keperluanku untuk seminggu ke depan yang tidak mungkin ditalang dengan tenaga uang sebanyak dua puluh ribu rupiah. Namun rasanya puas sekali dapat membantu orang seperti kawan ini. Dengan raut wajah penuh terima kasih, akhirnya Mardin permisi untuk pulang dan kedua kawan ini meninggalkanku di sudut Masjid dalam keadaan pikiran gundah.
* * *
Mardin adalah kawan seangkatan di masa kuliah dulu. Sama-sama aktif di gerakan ekstra unversitas. Saya masih ingat perannya saat memimpin barisan mahasiswa dalam menumbangkan pagar pengaman di depan gedung DPR/MPR sehingga para mahasiswa dengan leluasa dapat menyerbu masuk ke dalam gedung rakyat itu. Mungkin kalau pers jeli dalam mencatat kronologi pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa pada tahun 1998 itu, kiranya peristiwa itu menjadi story tersendiri dalam aksi penumbangan rezim Soeharto tersebut. Saat itu, sebagai kordinator lapangan, betapa gagahnya dia bentrok dengan para aparat yang kala itu masih dalam garang-garangnya. Tidak lama setelah itu, dia pun memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihannya. Saya ikut menemaninya melamar calon isterinya kepada orang tua gadis itu. Setahun kemudian aku baru bertemu lagi dengannya kala syukuran kelahiran anak pertamanya. Masa itu kelihatan kehidupan ekonomi keluarganya masih sehat-sehat saja.
* * *
Suatu petang, sebulan lebih kurang setelah kedatangannya yang pertama ke rumah kontrakakanku, dia datang kembali. Kali ini dia hanya datang seorang diri. Aku sebenarnya tidak merasa nyaman dengan banyaknya dia mengeluh tentang nasib keluarganya. Dikatakannya, isterinya mengalami radang tenggorokan karena meminum air fasilitas rumah kontrakan mereka yang tidak memenuhi standard kesehatan. Untuk ke Puskesmas memeriksa dan mengobatinya, mereka tidak punya uang. Ujung-ujungnya dia memintaku supaya memberikan bantuan kepadanya.
Selepas shalat maghrib aku meminta untuk ikut pulang bersamanya sekaligus ingin menengok keadaan keluarganya. Terutama aku ingin sekali melihat jagoannya yang sudah lancar merangkak seperti yang ia ceritakan itu. Di dalam perjalanan menuju rumahnya, setelah kuberikan tiga lembar sepuluh ribu rupiah seperti yang dimintanya, aku utarakan rencanaku hendak menikah dalam waktu dekat ini. Kuceritakan juga profil calon isteriku kepadanya. Dia antusias sekali mendengar rencanaku itu. Pendeknya ia akan mendukung dengan segala kemampuan yang ia miliki. Bila perlu, seperti tawarannya, ia bersedia menjadi piar dalam proses pernikahan kami.
Setibanya di rumah kontrakannya yang mungil, waktu sudah menunjukkan pukul 21. 00 WIB. Berarti hampir tiga jam di perjalanan dari tempatku ke tempatnya. Hal itu wajar saja, karena tiga kali ganti angkot baru sampai ke tempat tinggalnya. Pintu terbuka, kulihat isteri dan anak-anaknya sedang bercengkerama di ruang tamu. Mardin memberitahukan kedatanganku kepada isterinya.
“Assalamu’alaikum. Apa kabar,” kataku kepada isterinya.
“Wa’alaikum salam,” sahutnya datar.
Kugendong jagoannya yang menggemaskan itu. “Dialah yang membuat semangatku tidak pernah padam dalam hidup ini,” kata Mardin sambil menatap jagoannya yang montok. Sedang putrinya yang pertama, terlihat agak malu-malu kepadaku. Tidak cepat akrab seperti adiknya.
Isterinya sudah siap menghidangkan makan malam dengan tumis kangkung ala kadarnya. Kemudian ia mempersilahkan kami untuk mencicipi masakannya. Aku pun sudah lapar, langsung saja kusantap yang terhidang di hadapan kami. Entah mengapa makan secara bersama nikmatnya terasa lebih dibanding dengan makan sendirian. Inikah namanya barakah?
Malam itu, sebelum mataku terpejam, pikiranku menerawang sampai ke langit-langit kamar tidur yang diterangi lampu pijar 25 watt. Mengapa selalu saja ada yang tidak adil dalam kehidupan ini? Apa kurangnya kawan ini, tapi mengapa rezekinya begitu payah? Sayup-sayup setengah berbisik kudengar percakapan Mardin dengan isterinya. “Besok kamu ke Puskesmas saja. Ini ada sedikit uang untuk keperluan itu,” katanya kepada isterinya. Hatiku teriris dengan percakapan itu. Ya, Tuhan, betapa menyedihkannya kesulitan yang dialami kawan ini. Aku teringat dengan cerita-cerita sekolompok masyarakat yang menghabiskan uang dua sampai tiga juta rupiah dalam beberapa jam saja pada moment malam tahun baru yang lalu. Betapa kontrasnya kehidupan ini! Andaikan uang yang dihamburkan itu diberikan kepada kawan ini, alangkah bermanfaatnya. Tapi mana mungkin timbul pikiran seperti itu pada mereka. Akhirnya segalanya terbawa ke alam mimpi. Paginya aku tidak ingat lagi apa yang terjadi dalam mimpiku, selain ngilu sayatan yang dalam kurasakan dalam hatiku karena rekaman pesta pora para selbriti dan orang-orang pemburu kenikmatan hidup.
Jumat, 02 Desember 2011
YOU ARE SPECIAL
Suatu hari seorang penceramah terkenal membuka seminarnya dengan cara yang unik. Sambil memegang uang pecahan Rp. 100.000,00.- ia bertanya kepada hadirin, "Siapa yang mau uang ini?" Tampak banyak tangan diacungkan. Pertanda banyak minat.
"Saya akan berikan ini kepada salah satu dari Anda sekalian, tapi sebelumnya perkenankanlah saya melakukan ini."
Ia berdiri mendekati hadirin. Uang itu diremas-remas dengan tangannya sampai berlipat-lipat. Lalu bertanya lagi,"Siapa yang masih mau uang ini?" Jumlah tangan yang teracung tak berkurang.
"Baiklah," jawabnya, "Apa jadinya bila saya melakukan ini?" ujarnya sambil menjatuhkan uang itu ke lantai dan menginjak2nya dengan sepatunya. Meski masih utuh, kini uang itu jadi amat kotor dan tak mulus lagi.
"Nah, apakah sekarang masih ada yang berminat?" Tangan-tangan yang mengacung masih tetap banyak.
"Hadirin sekalian, Anda baru saja menghadapi sebuah pelajaran penting. Apapun yang terjadi dengan uang ini, anda masih berminat karena apa yang saya lakukan tidak akan mengurangi nilainya. Biarpun lecek dan kotor, uang itu tetap bernilai Rp. 100.000,00.-
Dalam kehidupan ini kita pernah beberapa kali terjatuh, terkoyak, dan berlepotan kotoran akibat keputusan yang kita buat dan situasi yang menerpa kita. Dalam kondisi seperti itu, kita merasa tak berharga, tak berarti.
Padahal apapun yang telah dan akan terjadi, Anda tidak pernah akan kehilangan nilai di mata mereka yang mencintai Anda, terlebih di mata Tuhan.
Jangan pernah lupa - Anda spesial...!!!
GOD bless you...
"Saya akan berikan ini kepada salah satu dari Anda sekalian, tapi sebelumnya perkenankanlah saya melakukan ini."
Ia berdiri mendekati hadirin. Uang itu diremas-remas dengan tangannya sampai berlipat-lipat. Lalu bertanya lagi,"Siapa yang masih mau uang ini?" Jumlah tangan yang teracung tak berkurang.
"Baiklah," jawabnya, "Apa jadinya bila saya melakukan ini?" ujarnya sambil menjatuhkan uang itu ke lantai dan menginjak2nya dengan sepatunya. Meski masih utuh, kini uang itu jadi amat kotor dan tak mulus lagi.
"Nah, apakah sekarang masih ada yang berminat?" Tangan-tangan yang mengacung masih tetap banyak.
"Hadirin sekalian, Anda baru saja menghadapi sebuah pelajaran penting. Apapun yang terjadi dengan uang ini, anda masih berminat karena apa yang saya lakukan tidak akan mengurangi nilainya. Biarpun lecek dan kotor, uang itu tetap bernilai Rp. 100.000,00.-
Dalam kehidupan ini kita pernah beberapa kali terjatuh, terkoyak, dan berlepotan kotoran akibat keputusan yang kita buat dan situasi yang menerpa kita. Dalam kondisi seperti itu, kita merasa tak berharga, tak berarti.
Padahal apapun yang telah dan akan terjadi, Anda tidak pernah akan kehilangan nilai di mata mereka yang mencintai Anda, terlebih di mata Tuhan.
Jangan pernah lupa - Anda spesial...!!!
GOD bless you...
# BESI BATANGAN PUN BISA DIGOSOK MENJADI JARUM #
Alkisah, pada suatu waktu ada sastrawan terkenal dari dataran cina sedang mengisahkan masa lalunya.Pada waktu itu... dia dalam masa sekolah, disaat anak-anak lain bersekolah dan belajar dengan giat dia hanya mau bermain dan berjalan-jalan. Pada waktu berjalan-jalan tersebut, dia melihat seorang nenek tengah menggosok sebatang besi dengan...pelan namun pasti. Merasa penasaran dengan apa yg dilakukan oleh sang nenek, sang anak tersebut pun bertanya, "nek..apa yg nenek lakukan..?" sang nenek pun menjawab "nenek sedang menggosok batangan besi ini untuk dijadikan jarum nak !". merasa terkejut dengan jawaban sang nenek, ia pun menjawab "ah..nenek bermimpi..mana mungkin besi batangan ini bisa digosok menjadi jarum..". Dengan tegas si nenek berkata.....
"selama memiliki kesabaran, ketekunan dan dan keteguhan hati, besi batangan ini bisa digosok menjadi jarum..!!"
Si anak merasa tergugah dengan jawaban sang nenek, sejak saat itu dia menjadi anak yang rajin,tekun dan ulet dalam belajar..dan suatu hari dia menjadi sastrawan yang dikenal dan disegani di dataran cina...
apa makna dari cerita ini..?
kita semua memiliki impian, cita-cita, harapan untuk menjadi lebih baik, lebih sukses, lebih berhasil di masa depan. Masalahnya..apakah anda memiliki keyakinan, kesabaran, keuletan, dan keteguhan hati untuk mencapai apa yang anda impikan tersebut..?
kadang-kadang dalam hidup ini kita mengalami hambatan, kesulitan, rintangan yang harus dihadapi dan kita pun lupa akan impian, cita-cita dan harapan kita, sehingga kita sudah lupa akan impian kita.
Jangan lupa akan impian kita dalam hidup ini, raih impian dengan kesabaran, ketekunan, keuletan dan keteguhan hati. bila menemui kesulitan, halangan maupun rintangan, jangan menyerah...ubah cara anda dalam mencapai tujuan, bukan mengubah tujuannya, dan carilah mentor, model peran yang sekiranya dapat menjadi contoh dan sumber inspirasi anda dalam meraih apa yang anda inginkan dalam hidup ini..
"selama memiliki kesabaran, ketekunan dan dan keteguhan hati, besi batangan ini bisa digosok menjadi jarum..!!"
Si anak merasa tergugah dengan jawaban sang nenek, sejak saat itu dia menjadi anak yang rajin,tekun dan ulet dalam belajar..dan suatu hari dia menjadi sastrawan yang dikenal dan disegani di dataran cina...
apa makna dari cerita ini..?
kita semua memiliki impian, cita-cita, harapan untuk menjadi lebih baik, lebih sukses, lebih berhasil di masa depan. Masalahnya..apakah anda memiliki keyakinan, kesabaran, keuletan, dan keteguhan hati untuk mencapai apa yang anda impikan tersebut..?
kadang-kadang dalam hidup ini kita mengalami hambatan, kesulitan, rintangan yang harus dihadapi dan kita pun lupa akan impian, cita-cita dan harapan kita, sehingga kita sudah lupa akan impian kita.
Jangan lupa akan impian kita dalam hidup ini, raih impian dengan kesabaran, ketekunan, keuletan dan keteguhan hati. bila menemui kesulitan, halangan maupun rintangan, jangan menyerah...ubah cara anda dalam mencapai tujuan, bukan mengubah tujuannya, dan carilah mentor, model peran yang sekiranya dapat menjadi contoh dan sumber inspirasi anda dalam meraih apa yang anda inginkan dalam hidup ini..
Aku Menangis untuk Adikku
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bias membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
"I cried for my brother six times"
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bias membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
"I cried for my brother six times"
Menjadi Juara
Menjadi Juara
Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.
Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.
Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".
Dor! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat.
Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. "Ayo..ayo..cepat..cepat..maju..maju", begitu teriak mereka. Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai.
Dan, Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap,
dan berkomat-kamit lagi dalam hati (berdoa). "Terima kasih."
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. "Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?". Mark terdiam. "Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongmu mengalahkan orang lain. Aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
Teman, anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua.
Mark tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark tidak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya.
Ia tidak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Sesungguhnya, Tuhan sedang menguji setiap hamba-Nya yang saleh.
Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.
Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.
Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".
Dor! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat.
Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. "Ayo..ayo..cepat..cepat..maju..maju", begitu teriak mereka. Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai.
Dan, Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap,
dan berkomat-kamit lagi dalam hati (berdoa). "Terima kasih."
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. "Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?". Mark terdiam. "Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongmu mengalahkan orang lain. Aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
Teman, anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua.
Mark tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark tidak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya.
Ia tidak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Sesungguhnya, Tuhan sedang menguji setiap hamba-Nya yang saleh.
Langganan:
Postingan (Atom)