Etika dan Moral dalam Menggunakan Teknologi Informasi dan
Komunikasi
Dalam dunia Teknologi Informasi (atau IT/Information
Technology), masalah yang berhubungan dengan etika dan hukum bermunculan, mulai
dari penipuan, pelanggaran, pembobolan informasi rahasia, persaingan curang
sampai kejahatan yang sifatnya pidana sudah sering terjadi tanpa dapat
diselesaikan secara memuaskan melalui hukum dan prosedur penyidikan yang ada
saat ini, mengingat kurangnya landasan hukum yang dapat diterapkan untuk
perbuatan hukum yang spesifik tersebut seperti pembuktian dan alat bukti.
Terdapat dua jenis peraturan, yaitu peraturan tidak tertulis
berupa norma yang berlaku, dan peraturan tertulis berupa perundang-undangan
yang secara resmi disahkan oleh suatu lembaga yang berwenang. Norma yang
berlaku sebenarnya tidak ada kepastian secara hukum, namun masyarakatlah yang
dapat menilai apakah prilaku seseorang sesuai dengan norma atau tidak.
Sedangkan undang-undang jelas mengatur apa saja yang harus dan tidak boleh
dilakukan. Begitu pula dalam teknologi informasi, terdapat norma yang membatasi
seseorang dalam menghadapi teknologi ini berupa etika dan moral, dan terdapat
pula hukum dan perundang-undangan yang mengatur dengan jelas apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.
Undang-undang Hak Cipta dan Hak atas Kekayaan Intelektual
(HaKI)
Di awal pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri telah disahkan dua buah undang-undang, yaitu
tentang Paten dan Merek pada tahun 2001 yang telah disahkan pada tanggal 1
Agustus 2001. Kemudian pada tanggal 29 Juli 2002 kembali disahkan Undang-undang
mengenai Hak Cipta. Dengan demikian, Undang-undang Perlindungan Hak atas
Kekayaan Intelektual (HaKI) meliputi UU RI No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU
RI No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan UU RI No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta. Semua perundang-undangan tersebut ditujukan untuk melindungi hak
atas kekayaan intelektual. Pada materi kali ini akan dikhususkan pada
pembahasan mengenai Undang-undang Hak Cipta dalam menghadapi teknologi
informasi.
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau
gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi
dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan,
kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, dan
didengar.
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta terdiri,
dari 15 bab, 78 pasal. Adapun inti dari tiap bab, antara lain:
Bab
I
: Ketentuan Umum
Bab
II
: Lingkup Hak Cipta
Bab
III :
Masa Berlaku Hak Cipta
Bab
IV
: Pendaftaran Ciptaan
Bab
V
: Lisensi
Bab
VI
: Dewan Hak Cipta
Bab
VII : Hak
Terkait
Bab
VIII : Pengelolaan Hak
Cipta
Bab IX :
Biaya
Bab X
: Penyelesaian Sengketa
Bab
XI
: Penetapan Sementara Pengadilan
Bab
XII :
Penyidikan
Bab
XIII : Ketentuan Pidana
Bab
XIV : Ketentuan Peralihan
Bab
XV : Ketentuan
Penutup
Untuk lebih jelas lagi sebaiknya langsung bereferensi pada
buku Undang-undang Perlindungan HaKI yang memuat juga penjelasannya. Buku
undang-undang tersebut yang sudah tersebar di mana-mana.
Etika dalam Teknologi Informasi dan Menghargai Karya Orang
Lain
Teknologi informasi (IT), erat kaitannya dengan teknologi
komputer (sebagai perangkat keras/hardware), dan program aplikasi (sebagai
perangkat lunak/software). Keduanya berkembang begitu pesat akhir-akhir ini.
Barang siapa menguasai teknologi informasi, maka dia tidak akan ketinggalan.
Permasalahan yang ada, di satu sisi kebutuhan akan sistem komputer terus
bertambah, di sisi lain daya beli terhadap perangkat baru semakin menurun,
terutama dengan nilai tukar rupiah yang terus merosot. Sebagian software baru
cenderung membutuhkan spesifikasi hardware yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Kondisi demikian memancing masyarakat yang gemar ngutak-atik teknologi
informasi untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma dan hukum
untuk mendapatkan keuntungan dari tindakannya tersebut.
Tindakan penggunaan teknologi informasi yang bertentangan
dengan moral dan undang-undang yang berlaku dan banyak dibicarakan saat ini,
antara lain:
a. Hacking/cracking
Tindakan pembobolan data rahasia suatu institusi, membeli
barang lewat internet dengan menggunakan nomor kartu kredit orang lain tanpa
izin (carding) merupakan contoh-contoh dari tindakan hacking. Orang yang
melakukan hacking disebut hacker. Begitu pula dengan membuka kode program
tertentu atau membuat suatu proses agar beberapa tahap yang harus dilakukan
menjadi terlewatkan (contoh: cracking serial number) apabila dilakukan tanpa
izin juga merupakan tindakan yang menyalahi hukum.
b. Pembajakan
Mengutip atau
menduplikasi suatu produk, misalkan program komputer, kemudian menggunakan dan
menyebarkan tanpa izin atau lisensi dari pemegang hak cipta merupakan
pembajakan, dan masuk kategori kriminal. Contohnya, ketika seseorang
menduplikasi program Microsoft Office, kemudian diinstalasi tanpa membeli
lisensi yang sah. Walaupun memang harga lisensi program tersebut relatif mahal
untuk ukuran rata-rata pendapatan per kapita di Indonesia, namun apabila
tindakan tersebut dituntut oleh pemegang hak cipta, maka pelaku pembajakan yang
dalam posisi lemah akan dikenai sanksi dan konsekuensi sesuai hukum yang
berlaku.
c. Browsing situs-situs yang tidak sesuai dengan moral dan
etika kita
Membuka situs dewasa bagi orang yang belum layak merupakan
tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan etika. Teknologi internet yang
dapat memberikan informasi tanpa batas akan mengakibatkan tindakan yang
beragam, mulai dari tindakan-tindakan positif sampai negatif. Orang yang tahu
akan manfaat internet dan memanfaatkan secara positif akan mendapatkan hasil
yang positif pula, dan begitu juga sebaliknya.
Untuk menanggulangi perilaku di atas, maka dikeluarkanlah
undang-undang. Bagi yang melanggar akan mendapatkan konsekuensi sesuai dengan
apa yang telah dikerjakannya. dan tidak kalah pentingnya dukungan segenap
masyarakat baik itu keluarga, teman, serta lingkungan masyarakat lainnya untuk
mendukung dan menyadari akan pentingnya pemanfaatan teknologi informasi dengan
benar.
Pembajakan software yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat
Indonesia ini harus mulai disapu bersih karena akan menyebabkan hasil karya
produk Teknologi Informasi Indonesia tidak diakui dunia internasional. Demikian
salah satu kesimpulan National Open Source Workshop and Conference (Noswoc) di
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 25-26 September 2000 (www.detik.com, Kamis
(28/9/2000).
Untuk menghadapi masalah seperti ini, tergantung kita
sebagai pengguna yang harus pintar-pintar mengatur pengeluaran disesuaikan
dengan kebutuhan. Tidak ada salahnya membeli software yang membutuhkan biaya
lisensi tinggi apabila diperlukan. Namun dengan adanya kemajuan teknologi software
yang tidak terbatas di seluruh penjuru dunia memicu kita untuk mencari dan
terus mencari software dengan biaya murah tapi performance/kinerja yang tidak
kalah dengan software mahal. Bahkan sekarang ini banyak software yang free atau
bebas digunakan tanpa diharuskan membeli lisensi yang cukup mahal, mengingat
keadaan perekonomian kita yang belum begitu membaik.
Oleh karena itu, jalan keluarnya jika merasa berat untuk
membeli lisensi program yang komersil, gunakanlah program yang open source atau
free yang memiliki lisensi murah atau bahkan gratis. Banyak produsen atau
komunitas pengembang software yang mengedarkan produknya secara gratis/free,
tergantung kejelian kita dalam memilih barang. Misalnya, program yang setara
dengan Microsoft Office yaitu Open Office.org. Open Office.org merupakan
program yang dijalankan pada platform Linux, dan Linux pun merupakan Operating System
yang open source juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar